Kritik Sastra Periode Balai Pustaka (1920—1932)
A. Teori Kritik Sastra Indonesia Modern pada Periode
Kritik Sastrawan
B. Teori Kritik Sastra pada Periode Balai Pustaka
C. Kritik Sastra Terapan pada Periode Balai Pustaka (1920—1932)
Kritik sastra Indonesia modern selalu
mengalami perkembangan. Perkembangan kritik sastra itu terlihat pada wujud,
corak, dan sifatnya. Di awal perkembangan kritik sastra yang berlangsung pada
periode Balai Pustaka sampai dengan periode Angkatan 45, kritik sastra
Indonesia modern ditulis oleh para sastrawan. Para sastrawan menulis kritik
sastra di samping menulis karya sastra. (Pradopo, 2017:87)
Pada pertengahan tahun 1950-an, terdapat
perkembangan corak dalam kritik sastra Indonesia modern. Perkembangan ini
dipengaruhi oleh tampilnya penulis-penulis kritik dari kampus universitas. Corak
kritik baru ini disebut dengan kritik akademik. Kritik akademik terasa
mendominasi corak kritik sastra Indonesia modern walaupun para sastrawan tetap
menulis kritik juga. (Pradopo, 2017:87)
Pradopo (2017:87) mengatakan bahwa kritik
sastra Indonesia modern merupakan tulisan-tulisan berupa esai-esai yang berdiri
sendiri. Esai tersebut merupakan kritik teoritis atau kritik terapan. Menurut
Pradopo (2017:281), kritik terapan merupakan penerapan teori kritik terhadap
karya sastra secara konkret melalui analisis, interpretasi, dan penilaian atas
karya sastra.
Kritik sastra yang berupa esai-esai itu
kemudian dikumpulkan oleh penulisnya dan dibukukan. Penulis yang pertama kali
membukukan esai-esai kritik sastranya adalah Amal Hamzah, yaitu berupa kritik
terapan berjudul Buku dan Penulis
pada tahun 1950. Kemudian disusul oleh H. B. Jassin pada tahun 1952 yang
membukukan esai-esai kritik sastranya dengan judul Tifa Penyair dan Daerahnya. Pada tahun yang sama Aoh Karta
Hadimadja menerbitkan kumpulan esai berjudul Beberapa Paham Angkatan ’45 (1952). (Pradopo, 2017:87—88)
Selain berupa esai, ada juga kritik
sastra yang berupa studi khusus. Kritik sastra ini baru ditulis pada akhir
tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Pada tahun 1959, Ajip Rosidi menerbitkan
buku studi khusus yang membicarakan cerpen Indonesia modern secara keseluruhan
dan kumpulan cerpen yang dapat digolongkan sebagai kritik sastra terapan.
Kemudian pada tahun 1962, Boen Sri Oemarjati menerbitkan Roman Atheis Achdiat Kartamihardja. Studi khusus itu berupa skripsi
atau tesis sarjana sastra yang merupakan telaah sebuah buku karya sastra
seorang pengarang. (Pradopo, 2017:88)
Kritik sastra Indonesia modern sejak
lahirnya tersebar dalam surat kabar harian dan majalah. Berdasarkan
tulisan-tulisan yang berupa esai tentang kritik sastra dalam surat kabar,
majalah, buku-buku kritik sastra, sejarah sastra, makalah diskusi, simposium,
dan buku pelajaran sastra, dapatlah disusun telaah teori dan terapan kritik
sastra Indonesia modern. (Pradopo, 2017:90)
B. Teori Kritik Sastra pada Periode Balai Pustaka
Karya sastra tercipta berdasarkan
pandangan, pikiran, dan paham tertentu. Pandangan, pikiran, dan paham itu dapat
dikatakan sebagai teori kritik dalam bidang penciptaan karya sastra. teori
kritik semacam itu tetap disebut sebagai teori kritik yang mengarahkan penciptaan
karya sastra meskipun tidak tertulis secara eksplisit sebagai teori kritik
sastra. (Pradopo, 2017:91)
Tercantum dalam “Nota over de Volkslectuur” yang dikeluarkan pada tahun 1911 dan
ditandatangani oleh D. A. Rinkes sebagai sekretaris komisi untuk Bacaan Rakyat dan
Sekolah-Sekolah Bumiputera, yang berisikan antara lain syarat-syarat penerbitan
Balai Pustaka, yaitu sebagai berikut.
1. Karangan-karangan
yang diterbitkan hendaklah yang dapat menambah kecerdasan dan memberikan
pendidikan budi pekerti
2. Isi karangan
tidak mengganggu ketertiban umum dan keamanan negeri, artinya tidak
bertentangan dengan garis politik pemerintah
3. Harus netral
agama
Aturan-aturan tersebut mengarahkan wujud
dan sifat buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Aturan-aturan itu
dapat disebut sebagai teori kritik sastra yang tertuju bagi pencapaian yang
didapatkan para pembaca. Nota Rinkes tersebut dapat dipandang sebagai teori
kritik sastra karena menjadi pedoman penulisan karya sastra, sehingga teori
kritik sastra tersebut merupakan teori kritik sastra Indonesia pertama yang
dinyatakan secara eksplisit/tertulis. Oleh karena itu, teori kritik sastra
pertama ini merupakan kritik normatif dan pragmatik, yaitu berdasarkan aturan
dan tujuan. Roman-roman tersebut berorientasi pragmatik yang memajukan dan
mendidik rakyat sebagai pembaca untuk berbudi pekerti yang baik dan taat kepada
pemerintahan. Sifat pragmatik itu terlihat dalam bahasa, gaya pencitraan,
nasihat, dan isi pikiran yang dikemukakan dalam roman-roman Balai Pustaka. (Pradopo,
2017:91—92)
Pada periode Balai Pustaka (1921—1930),
hampir tidak ada tulisan yang berupa kritik sastra atau mirip kritik sastra.
Hal ini dikarenakan hadirnya kritik sastra dipengaruhi oleh kehadiran karya
sastra. Pada masa itu, buku karya sastra masih sangat sedikit. Balai pustaka
hanya menerbitkan sekitar lima belas buku yang ditulis oleh sebelas pengarang.
Belum lagi, karya-karya sastra itu belum begitu disadari sebagai karya sastra,
melainkan hanya dirasa sebagai bahan bacaan penghibur dan pengetahuan saja.
Selain itu, pada saat itu juga Indonesia belum ada tradisi menulis kritik. Bahkan
di dalam beberapa majalah yang terbit, tidak ada tulisan yang
menyinggung-nyinggung sastra walaupun majalah itu memuat puisi, cerpen, dan
cerbung. Barulah pada dekade berikutnya terbit majalah sastra kebudayaan umum,
yaitu majalah Pujangga Baru yang
terbit pertama kali pada bulan Juli 1933. Mulai sejak itu, agak banyak tulisan
yang berhubungan dengan kesusasteraan yang di antaranya dapat disebut sebagai
kritik sastra. (Pradopo, 2017:96—97)
C. Kritik Sastra Terapan pada Periode Balai Pustaka (1920—1932)
Kritik sastra dibuat sesuai dengan
tujuan dan guna kritik sastra, yaitu menerangkan karya sastra kepada
masyarakat, keperluan ilmiah sastra, untuk penyusunan sejarah sastra, dan
perkembangan sastra suatu bangsa. Selain itu, terdapat tujuan yang lebih
pragmatik, yaitu ajakan untuk mencintai karya sastra sebagai salah satu budaya
bangsa. Kritik sastra Indonesia modern dipergunakan untuk menyatakan diri dalam
usaha memajukan pengetahuan, kesadaran, dan perkembangan budaya bersama bagi
bangsa. (Pradopo, 2017:282)
Kritik sastra Indonesia modern pada
periode Balai Pustaka masih sangat langka berhubung karya sastra Indonesia
modern baru saja lahir. Kritik sastra Indonesia pertama kali ditulis oleh
sastrawan Muhammad Yamin atas sastra Melayu, yaitu Sejarah Melayu (1920, hlm. 6—28) dan Syair Bidasari (1921, hlm.7—10). Meskipun kritik sastra terapan
Muhammad Yamin dikenakan pada sastra Melayu, tetapi dapat dianggap sebagai
kritik sastra Indonesia modern. Hal itu dikarenakan Muhammad Yamin adalah
sastrawan Indonesia modern dan kritiknya sesuai dengan wujud kritik sastra
Indonesia modern. Tujuan Muhammad Yamin menulis kritik itu tersirat di dalam
kritiknya, halaman 27, yaitu untuk menarik perhatian orang Indonesia supaya
menghargai karya sastra bangsa sendiri, sehingga di situ ada tujuan praktis dan
pragmatik. Di dalam kritiknya, Muhammad Yamin mengemukakan keindahan sejarah
melayu dan syair bidasari, baik mengenai gaya bahasa, gaya cerita, cerita,
maupun pikiran atau kebijaksanaan yang tinggi. Kritik itu bersifat
impresionistik karena semua yang dikemukakannya itu adalah kesan-kesan pokok.
Selain itu, kritiknya bertipe kritik pragmatik karena berorientasi pada tujuan
karya sastra untuk pendidikan pembaca dan dapat disebut kritik judisial karena
mempertimbangkan baik buruknya karya sastra. (Pradopo, 2017:282—283)
Kritik sastra Balai Pustaka bertipe
pragmatik seperti halnya kritik Muhammad Yamin. Pertimbangan kritik sastra
tersebut hanya mengenai kesan-kesan pokoknya dan tidak menganalisis karya
sastra secara analitik dan merenik. Selain itu, karena penilaiannya menurut
pertimbangan aturan tertentu, maka praktik kritiknya bersifat judisial,
sedangkan penilaiannya absolut, serta metodenya deduktif, yaitu karya sastra
dicocokkan dengan aturan-aturan dan norma-norma yang mengikat. (Pradopo,
2017:285)
Jadi, kritik sastra terapan periode
Balai Pustaka atau periode 1920—1932 adalah bertipe pragmatik, impresionistik,
judisial, bermetode deduktif, dan penilaiannya absolut, menomorsatukan tujuan
pendidikan (sebagai salah satu kriteria ekstra estetik) di atas kriteria ekstra
estetik lain dan kriteria estetik. (Pradopo, 2017:285)
Comments
Post a Comment