Sastra dan Transformasi Sosial Masyarakat
Judul di atas merupakan bab kedua dari buku Agus R. Sarjono yang berjudul "Sastra dalam Empat Orba". Bagian yang ditulis di halaman 22 sampai 30 ini sangat menarik bagi saya sehingga saya salin ke blog tanpa mengubah redaksi apapun.
BAB 2
Sastra dan Transformasi Sosial Masyarakat
Peran apa yang dapat dilakukan sastra dalam transformasi
sosial masyarakat? Pertanyaan yang
tampak wajar namun ajaib ini sangat kerap diajukan dan sekaligus sangat sulit
dijawab.
Sastra sendiri
sebenarnya sama dengan obat atau racun. Dengan begitu, pertanyaannya menjadi
sama dengan “Apa peran
obat dan/atau racun bagi badan manusia?”
Racun dan obat tentu
saja tidak memiliki pengaruh apa-apa jika tidak diserap, dimakan serta dicerna
dalam tubuh. Hal yang sama berlaku pula bagi sastra. ia tidak punya pengaruh
apa-apa jika tidak diapresiasi dan dibaca. Ketika seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi
mengajukan perkara peran sastra dalam transformasi, maka diakui atau tidak
tersimpan suatu andaian bahwa sastra memang
merupakan sesuatu yang sudah
diapresiasi secara luas oleh masyarakat yang tengah bertransformasi tersebut.
Namun benarkah sastra
merupakan sesuatu yang memang
diapresiasi dengan baik dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat
di Indonesia sekarang ini?
Penyebutan masyarakat
tentunya kelewat luas, besar, dan kabur. Maka baiklah kita batasi saja
pengertian masyarakat terdidik. Jadi, pertanyaan “Adakah sastra memang telah
menjadi bagian dari khazanah keterdidikan kita?”, dan “Di mana tempat sastra dalam seluruh kesibukan
persekolahan di Indonesia?”.
Di zaman penjajahan
Belanda, sastra memang menjadi bagian dari khazanah keterdidikan dan menempati
bagian cukup penting dalam persekolahan Hidia Belanda. Itulah sebabnya mereka
bersusah payah mendirikan pula Komisi Bacaan Rakyat yang berfungsi sebagai
lembaga pengelola dan penyedia bacaan bagi masyarakat terdidik bumi putera.
Tentu saja ada muatan politis di sana. Selain menerbitkan dan mengelola
distribusi bacaan ke berbagai pelosok Hindia Belanda, pertama lewat kelurahan
namun kemudian lewat sekolah-sekolah, komisi ini memang bertindak pula sebagai
penangkal yang memerangi bacaan-bacaan bernuansa politis pergerakan yang mereka
tuduh sebagai bacaan liar. Namun dalam logika Orde Lama maupun terutama Orde
Baru sekarang ini, tidaklah perlu bersusah-susah mendirikan Komisi Bacaan
Rakyat untuk memerangi bacaan liar. Memerangi bacaan liar tersebut bagi logika
pemerintah Indonesia merdeka mudah saja: beredel! Kenyataan didirikannya Komisi Bacaan
Rakyat—yang kemudian menjadi Balai Pustaka itu—menunjukkan bagaimana bacaan dan
literariness merupakan bagian penting
dalam cita rasa dan kesadaran kolonial Belanda.
Dalam situasi semacam
itu, tidaklah mengherankan jika para founding
father kita rata-rata apresiatif terhadap khazanah sastra, baik khazanah
sastra negerinya maupun khazanah sastra dunia. Semua itu tidak lain karena
mereka dididik dalam sekolah-sekolah Belanda. Sadar atau tidak mereka tularkan
pula cita hidup Eropa mereka. Cita alias ideal keterdidikan Eropa adalah keintelektualan berbasis
khazanah pustaka. Karena literariness
merupakan basis dari cita pendidikan Eropa, maka melek sastra pun dijadikan
bagian penting dalam pendidikan. Hal ini tidaklah terhindarkan karena tidak
mungkin seseorang disebut terpelajar tanpa memiliki minat dan daya apresiasi
yang baik terhadap sastra.
Pendidikan Indonesia pascakemerdekaan dibangun dengan semua
hal yang berbalikan dan anti-Belanda.
Semua musuh Belanda sama dengan pahlawan nasional. Dan pendidikan Belanda yang
berbasis keberaksaraan (literacy)
tersebut sengaja-atau-tidak dilawan dengan model pendidikan kelisanan (orality). Jadilah pendidikan pascakemerdekaan sebagai pendidikan
yang berbasis kegiatan belajar mengajar di ruang-ruang kelas dengan segala
kelisanannya, bukannya berbasis keberaksaraan di ruang perpustakaan dan
laboratorium. Ini semua
berlaku sejak TK sampai pascasarjana.
Hal lain yang tak kalah
penting dan gawat adalah kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia menganut asas keseragaman.
Keseragaman dibangun mulai dari kurikulum hingga cara berpakaian. Bahkan
keseragaman tersebut meluas pada keseragaman cara belajar mengajar dan
keseragaman evaluasi pendidikan. Semangat keseragaman yang tinggi ini ternyata
benar-benar dikukuhi nyaris pada semua aspek. Dalam pada itu, sastra memiliki tabiat yang
justru menolak keseragaman. Ia menyajikan ke-aeng-an kehidupan. Umumnya karya sastra senantiasa mengajak
pembacanya untuk memberi harga pada kelainan dan keliyanan (otherness).
Padahal si lain alias the other itu merupakan sesuatu yang
sama sekali tidak ditolerir dalam keseragaman pendidikan. Tidaklah mengherankan
jika pelajaran sastra yang memang resmi ada pada kurikulum, meski serba sedikit
dan tak cukup, pun tak mungkin bisa berkembang. Hal ini bukan saja karena ketersediaan khazanah buku teks
sastrawi yang memang terbatas, kualitas dan minat guru-guru sastra dan dosen
sastra yang memang cenderung sangat buruk, melainkan terutama juga disebabkan terdapatnya
perbedaan mendasar tempat berdirinya sastra dengan tempat berdirinya pendidikan
Indonesia masa kini. Landas mengadanya sastra ternyata bertentangan dengan
landas mengadanya penyeragaman yang dikukuhi dengan persekolahan kita itu. Hal ini bukan hanya berdampak
pada pendidikan sastra melainkan juga pada pendidikan ilmu-ilmu murni.
Sebagaimana sastra,
ilmu-ilmu murni pun tumbuh dari kreativitas dan semangat pencarian yang terus
menerus melalui perhatian dan pengkhidmatan terhadap otherness di dalam alam. Ilmu murni dan sastra memang tidak bakal
bisa tumbuh jika pendidikan dibangun sepenuhnya berdasar keseragaman.
Ilmu-ilmu murni di
bidang sains—sebagaimana karya sastra—hidup dalam kesunyian. Namun kekuasaan
ekonomi politik selalu mencoba membangun jalur relasional dengan kesunyian
laboratorium alam. Hasil-hasil pergulatan di kesunyian laboratorium sains
segera akan diadopsi dan dijadikan bagian dari pemantapan ekonomi dan/atau
kekuasaan politik. Hal ini berbeda dengan sastra (modern) yang dilihat dari
tabiatnya memang cenderung menantang dan dominan, memberi harga pada yang
pinggiran dan terabaikan sehingga dianggap mensubversi dan menggerogoti
kewibawaan penguasa yang di Indonesia—entah mengapa—begitu gemar menganiaya
yang lemah dan melemahkan yang teraniaya. Karya sastra juga gemar menggoyang
dan mempertanyakan apa-apa yang sudah dimantapkan dalam berbagai diskursus.
Dalam banyak hal sastra
merupakan sebuah upaya untuk memanusiakan ide-ide. Keberhasilan sastra
seringkali ditentukan pula oleh seberapa berhasil ia memanusiakan ide-ide. Tabiat ini berlawanan dengan
tabiat ilmu yang justru berupaya mengidekan manusia-manusia.
Dalam pada itu,
kehadiran sastra tidak pernah dapat dilepaskan dari relasinya dan tabiat
tekstual masyarakat tempat ia hidup selain terutama perkaitan tekstualnya
dengan sejarah perjalanan konvensi dan tradisi sastra itu sendiri.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, relasi kaum terdidik dengan
sastra cukup tinggi karena mereka bersama-sama menghidupi sebuah tema bersama,
yakni nasionalitas dan perjuangan kemerdekaan. Baik sastra maupun gelora jiwa kaum terdidik
sama-sama tengah mempertanyakan kekuatan dominan masa itu, yakni kolonialisme.
Apa yang terdapat dalam lembar-lembar diskursus sastrawi adalah juga apa yang
ada dalam gerak langkah sebagian besar masyarakan Indonesia yang merindukan
kemerdekaan. Seusai
kemerdekaan, bisa dibilang tidak terdapat lagi tema bersama itu, yakni
sebuah kecemasan serta harapan kolektif tempat berbagai unsur di masyarakat
bisa mempertautkan diri.
Dalam sastra, sekali
pun terdapat keragaman pengucapan, gaya, serta landas estetis, yang tiap masa
cenderung mengalami pergeseran dan perubahan, tetap saja ada sesuatu yang
bertahan sebagai bagian dominan dalam diskursus sastrawi, yakni humanitas. Humanitas alias upaya yang
putus-putus untuk bersimpati pada manusia dengan segala tragedi dan komedinya
menjadi jantung setiap karya sastra. Puncak dari segala itu adalah apa
yang secara politis sering disebut dengan perjuangan memberdayakan masyarakat
sebagai pengejawantahan perikemanusiaan yang adil dan beradab. Atau dalam
bahasa yang lebih meriah lagi, sastra senantiasa berada pada perjuangan
memantapkan hak asasi manusia. Dan hak asasi manusia—kemanusiaan yang adil dan
beradab itu—bukanlah sebuah tema kolektif di mana banyak unsur dalam masyarakat
dapat (tepatnya ingin) mempertautkan diri. Kemanusiaan yang adil dan
penghormatan atas hak asasi manusia tidak pernah berhasil menjadi ide bersama
seluruh masyarakat Indonesia sekalipun boleh jadi kata itu kerap dijambret dan
dipekikkan terus-menerus di banyak kesempatan oleh berbagai unsur dalam
masyarakat sebagai jargon. Kita tahu, sebagai sebuah jargon, kata-kata muluk
itu sering dimuati arti yang berbeda-beda bergantung kepentingan Si Pemakai.
Hal ini berbeda dengan
tema revolusi kemerdekaan. Diskursus revolusi kemerdekaan itu dibangun selain
lewat pergerakan politik dan militer, juga ditanamkan dalam-dalam jauh ke benar
semua kalangan termasuk terutama masyarakat persekolahan. Di sekolah-sekolah
kebangsaan, semangat dan diskursus kemerdekaan menjadi tema bersama kaum
terdidik. Sebaliknya, tema bersama itu tak ada lagi dalam seluruh kesibukan
pendidikan di Indonesia. Jikapun mau dicari tema bersama yang melandasi gerak
langkah dunia persekolahan kita sekarang, tidak bisa tidak tema bersama itu
adalah segera siap pakai (tepatnya siap dipakai oleh siapa yang memerlukannya)
untuk segera memasuki lapangan kerja guna mencapai kemakmuran individual di
bidang ekonomi. Baik pemerintah, pendidik, orangtua siswa, maupun siswa
bersangkutan, sama-sama mengandaikan bahwa dunia pendidikan adalah sebuah dunia
yang diharapkan dapat menghantarkan orang ke pekerjaan, dan pekerjaan itu
diharapkan dapat mengisi kocek mereka dengan kepuasan materi.
Dengan ini semua,
menjadi jelas bahwa sastra merupakan sebuah wilayah yang tak dibaca. Apalagi
jika kita ingat bahwa membaca—sesuatu
yang penting dalam peradaban sebuah negara—tidak pernah menjadi bagian penting
dalam pendidikan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Di sekolah, membaca
sekadar merupakan sebuah subbahasan dalam pelajaran bahasa Indonesia, persis
dengan kedudukan sastra. maka, tidak mengherankan jika dalam penelitian mengenai kemampuan dan minat baca
siswa sekolah dasar di dunia yang dilakukan oleh UNESCO, Indonesia menempati
urutan ke-32 dari 33 negara yang diteliti. Sebagai negeri yang SD-nya menempati juara buta huruf kedua
di dunia, maka tidak bisa diharap usia tuanya memiliki cakrawala sastra
dan keterpelajaran, karena penelitian yang sama menunjukkan bahwa minat baca
ditumbuhkan dan diteguhkan justru di usia Sekolah Dasar. Mereka yang tak gemar
membaca di Sekolah Dasar, akan terkutuk untuk menjadi pemirsa telenovela di
usia tuanya.
Sementara sastra,
khususnya sastra modern, tidal bisa lain merupakan sastra tertulis dan menjadi
khazanah literat. Sedikitnya minat terhadap sastra, dan sangat sangat lemahnya
daya apresiasi sastra kaum terdidik kita, memaksa kita membuat kesimpulan bahwa
negeri yang sudah lima puluh tahun merdeka ini selain dipenuhi slogan dan
polusi udara juga dipenuhi oleh kaum terdidik yang buta huruf.
Dengan semua gambaran di atas, menjadi jelas
bahwa upaya untuk menjawab pertanyaan: Apa peran sastra dalam transformasi sosial masyarakat di
sebuah negeri yang kaum terdidiknya buta huruf, pastikan merupakan sesuatu yang
sangat pelik dan sulit dijawab.
-
Dari bab tersebut dapat kita saksikan bagaimana Agus R. Sarjono mempertanyakan sebuah pertanyaan. Ketika sastra telah disangkutpautkan dengan masyarakat maka budaya masyarakat itu akan ikut diperhatikan pula. Dimulai dari pertanyaan sederhana Agus R. Sarjono dapat membuka berbagai 'bilik' Indonesia yang perlu kita sadari. Dari tulisan ini tentunya pembaca diajak untuk berpikir kritis mengenai sastra dan transformasi sosial masyarakat.
Comments
Post a Comment