Sastra dan Transformasi Sosial Masyarakat

Judul di atas merupakan bab kedua dari buku Agus R. Sarjono yang berjudul "Sastra dalam Empat Orba". Bagian yang ditulis di halaman 22 sampai 30 ini sangat menarik bagi saya sehingga saya salin ke blog tanpa mengubah redaksi apapun.
http://www.picbon.com/media/1731813679438236266_4910364941


BAB 2 
Sastra dan Transformasi Sosial Masyarakat

Peran apa yang dapat dilakukan sastra dalam transformasi sosial masyarakat? Pertanyaan yang tampak wajar namun ajaib ini sangat kerap diajukan dan sekaligus sangat sulit dijawab.
Sastra sendiri sebenarnya sama dengan obat atau racun. Dengan begitu, pertanyaannya menjadi sama dengan “Apa peran obat dan/atau racun bagi badan manusia?”
Racun dan obat tentu saja tidak memiliki pengaruh apa-apa jika tidak diserap, dimakan serta dicerna dalam tubuh. Hal yang sama berlaku pula bagi sastra. ia tidak punya pengaruh apa-apa jika tidak diapresiasi dan dibaca. Ketika seseorang, sekelompok orang, atau sebuah institusi mengajukan perkara peran sastra dalam transformasi, maka diakui atau tidak tersimpan suatu andaian bahwa sastra memang merupakan sesuatu yang sudah diapresiasi secara luas oleh masyarakat yang tengah bertransformasi tersebut. Namun benarkah sastra merupakan sesuatu yang memang diapresiasi dengan baik dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sekarang ini?
Penyebutan masyarakat tentunya kelewat luas, besar, dan kabur. Maka baiklah kita batasi saja pengertian masyarakat terdidik. Jadi, pertanyaan “Adakah sastra memang telah menjadi bagian dari khazanah keterdidikan kita?”, dan “Di mana tempat sastra dalam seluruh kesibukan persekolahan di Indonesia?”.
Di zaman penjajahan Belanda, sastra memang menjadi bagian dari khazanah keterdidikan dan menempati bagian cukup penting dalam persekolahan Hidia Belanda. Itulah sebabnya mereka bersusah payah mendirikan pula Komisi Bacaan Rakyat yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dan penyedia bacaan bagi masyarakat terdidik bumi putera. Tentu saja ada muatan politis di sana. Selain menerbitkan dan mengelola distribusi bacaan ke berbagai pelosok Hindia Belanda, pertama lewat kelurahan namun kemudian lewat sekolah-sekolah, komisi ini memang bertindak pula sebagai penangkal yang memerangi bacaan-bacaan bernuansa politis pergerakan yang mereka tuduh sebagai bacaan liar. Namun dalam logika Orde Lama maupun terutama Orde Baru sekarang ini, tidaklah perlu bersusah-susah mendirikan Komisi Bacaan Rakyat untuk memerangi bacaan liar. Memerangi bacaan liar tersebut bagi logika pemerintah Indonesia merdeka mudah saja: beredel! Kenyataan didirikannya Komisi Bacaan Rakyat—yang kemudian menjadi Balai Pustaka itu—menunjukkan bagaimana bacaan dan literariness merupakan bagian penting dalam cita rasa dan kesadaran kolonial Belanda.
Dalam situasi semacam itu, tidaklah mengherankan jika para founding father kita rata-rata apresiatif terhadap khazanah sastra, baik khazanah sastra negerinya maupun khazanah sastra dunia. Semua itu tidak lain karena mereka dididik dalam sekolah-sekolah Belanda. Sadar atau tidak mereka tularkan pula cita hidup Eropa mereka. Cita alias ideal keterdidikan Eropa adalah keintelektualan berbasis khazanah pustaka. Karena literariness merupakan basis dari cita pendidikan Eropa, maka melek sastra pun dijadikan bagian penting dalam pendidikan. Hal ini tidaklah terhindarkan karena tidak mungkin seseorang disebut terpelajar tanpa memiliki minat dan daya apresiasi yang baik terhadap sastra.
Pendidikan Indonesia pascakemerdekaan dibangun dengan semua hal yang berbalikan dan anti-Belanda. Semua musuh Belanda sama dengan pahlawan nasional. Dan pendidikan Belanda yang berbasis keberaksaraan (literacy) tersebut sengaja-atau-tidak dilawan dengan model pendidikan kelisanan (orality). Jadilah pendidikan pascakemerdekaan sebagai pendidikan yang berbasis kegiatan belajar mengajar di ruang-ruang kelas dengan segala kelisanannya, bukannya berbasis keberaksaraan di ruang perpustakaan dan laboratorium. Ini semua berlaku sejak TK sampai pascasarjana.
Hal lain yang tak kalah penting dan gawat adalah kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia menganut asas keseragaman. Keseragaman dibangun mulai dari kurikulum hingga cara berpakaian. Bahkan keseragaman tersebut meluas pada keseragaman cara belajar mengajar dan keseragaman evaluasi pendidikan. Semangat keseragaman yang tinggi ini ternyata benar-benar dikukuhi nyaris pada semua aspek. Dalam pada itu, sastra memiliki tabiat yang justru menolak keseragaman. Ia menyajikan ke-aeng-an kehidupan. Umumnya karya sastra senantiasa mengajak pembacanya untuk memberi harga pada kelainan dan keliyanan (otherness). Padahal si lain alias the other itu merupakan sesuatu yang sama sekali tidak ditolerir dalam keseragaman pendidikan. Tidaklah mengherankan jika pelajaran sastra yang memang resmi ada pada kurikulum, meski serba sedikit dan tak cukup, pun tak mungkin bisa berkembang. Hal ini bukan saja karena ketersediaan khazanah buku teks sastrawi yang memang terbatas, kualitas dan minat guru-guru sastra dan dosen sastra yang memang cenderung sangat buruk, melainkan terutama juga disebabkan terdapatnya perbedaan mendasar tempat berdirinya sastra dengan tempat berdirinya pendidikan Indonesia masa kini. Landas mengadanya sastra ternyata bertentangan dengan landas mengadanya penyeragaman yang dikukuhi dengan persekolahan kita itu. Hal ini bukan hanya berdampak pada pendidikan sastra melainkan juga pada pendidikan ilmu-ilmu murni.
Sebagaimana sastra, ilmu-ilmu murni pun tumbuh dari kreativitas dan semangat pencarian yang terus menerus melalui perhatian dan pengkhidmatan terhadap otherness di dalam alam. Ilmu murni dan sastra memang tidak bakal bisa tumbuh jika pendidikan dibangun sepenuhnya berdasar keseragaman.
Ilmu-ilmu murni di bidang sains—sebagaimana karya sastra—hidup dalam kesunyian. Namun kekuasaan ekonomi politik selalu mencoba membangun jalur relasional dengan kesunyian laboratorium alam. Hasil-hasil pergulatan di kesunyian laboratorium sains segera akan diadopsi dan dijadikan bagian dari pemantapan ekonomi dan/atau kekuasaan politik. Hal ini berbeda dengan sastra (modern) yang dilihat dari tabiatnya memang cenderung menantang dan dominan, memberi harga pada yang pinggiran dan terabaikan sehingga dianggap mensubversi dan menggerogoti kewibawaan penguasa yang di Indonesia—entah mengapa—begitu gemar menganiaya yang lemah dan melemahkan yang teraniaya. Karya sastra juga gemar menggoyang dan mempertanyakan apa-apa yang sudah dimantapkan dalam berbagai diskursus. Dalam banyak hal sastra merupakan sebuah upaya untuk memanusiakan ide-ide. Keberhasilan sastra seringkali ditentukan pula oleh seberapa berhasil ia memanusiakan ide-ide. Tabiat ini berlawanan dengan tabiat ilmu yang justru berupaya mengidekan manusia-manusia.
Dalam pada itu, kehadiran sastra tidak pernah dapat dilepaskan dari relasinya dan tabiat tekstual masyarakat tempat ia hidup selain terutama perkaitan tekstualnya dengan sejarah perjalanan konvensi dan tradisi sastra itu sendiri.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, relasi kaum terdidik dengan sastra cukup tinggi karena mereka bersama-sama menghidupi sebuah tema bersama, yakni nasionalitas dan perjuangan kemerdekaan. Baik sastra maupun gelora jiwa kaum terdidik sama-sama tengah mempertanyakan kekuatan dominan masa itu, yakni kolonialisme. Apa yang terdapat dalam lembar-lembar diskursus sastrawi adalah juga apa yang ada dalam gerak langkah sebagian besar masyarakan Indonesia yang merindukan kemerdekaan. Seusai kemerdekaan, bisa dibilang tidak terdapat lagi tema bersama itu, yakni sebuah kecemasan serta harapan kolektif tempat berbagai unsur di masyarakat bisa mempertautkan diri.
Dalam sastra, sekali pun terdapat keragaman pengucapan, gaya, serta landas estetis, yang tiap masa cenderung mengalami pergeseran dan perubahan, tetap saja ada sesuatu yang bertahan sebagai bagian dominan dalam diskursus sastrawi, yakni humanitas. Humanitas alias upaya yang putus-putus untuk bersimpati pada manusia dengan segala tragedi dan komedinya menjadi jantung setiap karya sastra. Puncak dari segala itu adalah apa yang secara politis sering disebut dengan perjuangan memberdayakan masyarakat sebagai pengejawantahan perikemanusiaan yang adil dan beradab. Atau dalam bahasa yang lebih meriah lagi, sastra senantiasa berada pada perjuangan memantapkan hak asasi manusia. Dan hak asasi manusia—kemanusiaan yang adil dan beradab itu—bukanlah sebuah tema kolektif di mana banyak unsur dalam masyarakat dapat (tepatnya ingin) mempertautkan diri. Kemanusiaan yang adil dan penghormatan atas hak asasi manusia tidak pernah berhasil menjadi ide bersama seluruh masyarakat Indonesia sekalipun boleh jadi kata itu kerap dijambret dan dipekikkan terus-menerus di banyak kesempatan oleh berbagai unsur dalam masyarakat sebagai jargon. Kita tahu, sebagai sebuah jargon, kata-kata muluk itu sering dimuati arti yang berbeda-beda bergantung kepentingan Si Pemakai.
Hal ini berbeda dengan tema revolusi kemerdekaan. Diskursus revolusi kemerdekaan itu dibangun selain lewat pergerakan politik dan militer, juga ditanamkan dalam-dalam jauh ke benar semua kalangan termasuk terutama masyarakat persekolahan. Di sekolah-sekolah kebangsaan, semangat dan diskursus kemerdekaan menjadi tema bersama kaum terdidik. Sebaliknya, tema bersama itu tak ada lagi dalam seluruh kesibukan pendidikan di Indonesia. Jikapun mau dicari tema bersama yang melandasi gerak langkah dunia persekolahan kita sekarang, tidak bisa tidak tema bersama itu adalah segera siap pakai (tepatnya siap dipakai oleh siapa yang memerlukannya) untuk segera memasuki lapangan kerja guna mencapai kemakmuran individual di bidang ekonomi. Baik pemerintah, pendidik, orangtua siswa, maupun siswa bersangkutan, sama-sama mengandaikan bahwa dunia pendidikan adalah sebuah dunia yang diharapkan dapat menghantarkan orang ke pekerjaan, dan pekerjaan itu diharapkan dapat mengisi kocek mereka dengan kepuasan materi.
Dengan ini semua, menjadi jelas bahwa sastra merupakan sebuah wilayah yang tak dibaca. Apalagi jika kita ingat bahwa membaca—sesuatu yang penting dalam peradaban sebuah negara—tidak pernah menjadi bagian penting dalam pendidikan dan kehidupan masyarakat Indonesia. Di sekolah, membaca sekadar merupakan sebuah subbahasan dalam pelajaran bahasa Indonesia, persis dengan kedudukan sastra. maka, tidak mengherankan jika dalam penelitian mengenai kemampuan dan minat baca siswa sekolah dasar di dunia yang dilakukan oleh UNESCO, Indonesia menempati urutan ke-32 dari 33 negara yang diteliti. Sebagai negeri yang SD-nya menempati juara buta huruf kedua di dunia, maka tidak bisa diharap usia tuanya memiliki cakrawala sastra dan keterpelajaran, karena penelitian yang sama menunjukkan bahwa minat baca ditumbuhkan dan diteguhkan justru di usia Sekolah Dasar. Mereka yang tak gemar membaca di Sekolah Dasar, akan terkutuk untuk menjadi pemirsa telenovela di usia tuanya.
Sementara sastra, khususnya sastra modern, tidal bisa lain merupakan sastra tertulis dan menjadi khazanah literat. Sedikitnya minat terhadap sastra, dan sangat sangat lemahnya daya apresiasi sastra kaum terdidik kita, memaksa kita membuat kesimpulan bahwa negeri yang sudah lima puluh tahun merdeka ini selain dipenuhi slogan dan polusi udara juga dipenuhi oleh kaum terdidik yang buta huruf.
Dengan semua gambaran di atas, menjadi jelas bahwa upaya untuk menjawab pertanyaan: Apa peran sastra dalam transformasi sosial masyarakat di sebuah negeri yang kaum terdidiknya buta huruf, pastikan merupakan sesuatu yang sangat pelik dan sulit dijawab.
-

Dari bab tersebut dapat kita saksikan bagaimana Agus R. Sarjono mempertanyakan sebuah pertanyaan. Ketika sastra telah disangkutpautkan dengan masyarakat maka budaya masyarakat itu akan ikut diperhatikan pula. Dimulai dari pertanyaan sederhana Agus R. Sarjono dapat membuka berbagai 'bilik' Indonesia yang perlu kita sadari. Dari tulisan ini tentunya pembaca diajak untuk berpikir kritis mengenai sastra dan transformasi sosial masyarakat. 

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen "Rumah yang Terang" Karya Ahmad Tohari

Unsur Pembangun Cerpen

Pengertian, Tujuan, dan Struktur Berbagai Teks untuk SMP