Cerpen "Taryo"
Taryono bermimpi
dirinya mendadak kaya. Paginya dia ceritakan kepada sang istri betapa
bahagianya mereka di dalam mimpi itu. Punya rumah mewah, mobil besar, makan
enak, dan bisa beli apa saja. Wajah Taryo semringah, namun istrinya tidak.
“Ngimpi, kamu!” Sambil
berlalu istrinya melemparkan koran bekas.
Setelah itu bergumam di
dapur yang sesungguhnya bisa didengar oleh Taryo.
“Bisa baca koran saja
untung! Koran pungutan, lagi! Berita zaman kapan itu tidak tahu, malah mimpi
jadi wong sugih, dasar beloon.”
Sebagai seorang kepala
keluarga yang baik, Taryono sadar bahwa istrinya sedang minta permohonan.
“Dia pasti mau baca
koran paling baru.” Gumamnya.
Maka saat itu juga,
Taryo keluar dari rumah. Mengayuh sepeda tua bekas ayahnya dahulu bekerja,
entah sudah setua apa.
Kebetulan memang hari
ini Taryono sedang libur kerja, dia seorang buruh tani. Setiap tiga hari dalam
seminggu pasti dipanggil ke ladang. Bantu-bantu Pak Sugeng memanen sayuran,
mencangkul, atau membetulkan pondoknya Pak Sugeng kalau tiba-tiba rusak. Upah
yang Taryo dapat tidak banyak, tetapi cukup untuk membelikan istrinya bahan
masakan, merawat anak semata wayangnya, dan memberikan sedekah ke masjid setiap
hari jumat.
Sambil mengayuh sepeda
tua Taryo berdoa di dalam hati. Tulus ia katakan bahwa dirinya mau
membahagiakan sang istri. Mau tidak mau Taryo kembali ke Gang Jambu, tempatnya dahulu
bekerja sebagai buruh koran. Tempat itu masih ramai, orang-orang di sana pun
masih mengenal Taryo.
“Taryo, kenapa datang,
sudah lama kamu tidak ke sini.” Seseorang yang Taryo paham betul wataknya, Pak
Rusli, pengusaha jual korang paling top.
Taryono mendekatinya,
menggandeng sepeda butut ke hadapan Pak Rusli.
Ragu-ragu Pak Rusli
bertanya,
“Apa kamu mau jual
sepeda itu kepadaku?” Taryo tersenyum, sedikit tertawa.
Pak Rusli masih sama
seperti pertama kali mereka jumpa, suka bercanda. Taryo datang bukan untuk
menjual sepeda, tetapi ingin koran terbaru, yang benar-benar baru Pak Rusli
ambil dari percetakan. Dengan sepenuh hati Taryo memohon kebaikan Pak Rusli
demi istrinya.
“Hahahaha!” Pak Rusli
tertawa, di umur senja begini pun masih ceria, pikir Taryono sebentar.
Tidak lama Pak Rusli
berbalik, lalu kembali dan memberinya seikat korang paling baru. Taryo senang
sekaligus heran.
“Kenapa saya diberi
seikat? Saya cuman mau satu.” Gumamnya, Pak Rusli mendengar.
“Kamu boleh ambil yang
paling bawah, jadi jual dulu yang ada di atas-atasnya.” Ujar Pak Rusli.
Taryono kesengsem.
Pikirnya hebat sekali Pak Rusli memberinya pekerjaan hanya karena ingin meminta
koran. Kalau begitu dia bisa mendapat upah pula, pikir Taryo. Saking
semangatnya Taryo langsung pergi, meninggalkan Pak Rusli yang tetap tersenyum
melihat ulahnya.
Dalam lima jam Taryono
sudah menghabiskan banyak koran, terjual laku sebab korannya baru.
“Wah, ternyata
orang-orang di sini sama seperti istri saya, suka baca koran baru.” Taryo
berceloteh. Tanpa sadar koran di tangannya tinggal dua. Taryono tersipu,
setengah jatuh cinta.
“Aku akan memberikan
yang paling mulus kepada istriku, yang sebelah kanan atau kiri, ya?” Tanya
Taryo pada dirinya sendiri.
Tidak lama muncul
seorang ibu dan seorang bapak. Pasti mereka berdua mau mambeli koran, pikir
Taryono.
“Kebetulan korannya
sisa satu, bapak dan ibu bisa baca sama-sama di rumah.” Taryono tersenyum
lebar.
Bapak dan ibu itu
saling menatap, kemudian menatap Taryo pula. Mereka bilang bahwa mereka tidak
saling kenal.
“Saya mau beli koran untuk
suami saya.” Kata si ibu.
Si bapak juga begitu,
“Saya mau beli koran
untuk anak saya, dia punya tugas sekolah.” Taryo bingung, apa tidak ada yang
mau membelikan koran untuk istrinya?
Ibu itu menyodorkan
uang lebih dahulu, pecahan lima ribu rupiah. Kemudian dia melihat bahwa
korannya sisa dua, tentu pas untuk dirinya dan si bapak yang tak ia kenal.
Bapak itu juga menyodorkan uang pecahan sepuluh ribu rupiah. Pikirnya betul,
koran ini memang pas untuk mereka. Taryo yang semakin bingung malah memberikan
kedua koran begitu saja. Tak lupa memberi kembalian yang pas untuk ibu dan
bapak.
Sepulangnya ke Gang
Jambu, Taryo hampir menangis menghadapi kenyataan bahwa koran terbaru sudah
habis di tangan Pak Rusli, begitu pula di tangannya. Sedikit kecewa Taryo
pulang ke rumah, tidak lupa memberikan uang hasil jualan koran kepada Pak
Rusli, tidak lupa juga meminta upahnya menjual seikat koran.
Taryono sampai ke rumah
dengan pasrah.
“Aku pasti kena oceh
istriku.” Gumamnya.
Sembari masuk rumah
Taryo melihat anaknya sedang duduk manis di lantai ruang depan, mengerjakan
tugas sekolah dengan cermat, dan Taryo teringat kepada bapak yang membeli koran
tadi. Seandainya ia tidak memberikan koran itu kepada si bapak, mungkin anaknya
akan kecewa, belum lagi anaknya bakal dimarahi guru di sekolah. Tentu Taryo
sendiri tidak mau hal seperti itu terjadi pada anaknya, maka ia menghampiri
lalu mengusap kepala anak semata wayangnya.
“Nak, kamu tidak pernah
dimarahi oleh gurumu, bukan?” Taryo bertanya pasti, sedikit pelan. Anaknya
heran, tetapi mengangguk lalu mengacungkan ibu jari kanan ke arah bapaknya.
“Imah rajin di sekolah,
pak. Guru Imah tidak pernah marah, kecuali kalau bapak lupa bayar uang
sekolah.” Taryono tertawa.
Tidak biasanya seorang
anak percaya bahwa bapaknya benar-benar pelupa. Maka sekarang Taryo
mengingat-ingat kapan terakhir ia bilang bahwa ia tidak memiliki uang, mungkin
sudah lama. Lagi pula Taryo tidak mau anaknya terbebani karena bapaknya tak
bisa bayar uang sekolah. Taryo hanya berpura-pura lupa.
Sekarang masalahnya
Taryono belum punya koran terbaru pesanan istrinya. Ia sedikit gemetar.
Perlahan Taryo berjalan ke dapur, menghampiri sang istri untuk memohon maaf.
Tanpa sadar istrinya Taryo sudah tahu kedatangan suaminya, dia juga melihat
Taryo sedang berjalan mengendap-endap sambil terus menatap lantai atau kedua
kakinya, tidak tahu.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan sang istri membuat Taryo sedikit panik, agak terkejut, melompat
kecil, dan berhenti berjalan.
Dari kejauhan Taryono
berkata bahwa ia mau meminta maaf,
“Aku tidak bisa
memberikan koran paling baru.”
Istrinya hanya diam,
tetap memotong bawang di dekat kompor. Taryono bingung, sedikit cemas kalau-kalau
pisau itu melayang ke arah kepalanya. Dari sudut pikiran sang istri, ia
bergumam mengapa suaminya tiba-tiba membicarakan perihal koran. Mengingat
sejauh apapun ia tetap tak ingat kalau pernah meminta dibelikan koran baru. Toh
beli bawang tadi ia mendapat robekan koran, ia bisa baca berita dari sana kalau
mau.
Taryono masih diam,
menunggu jawaban istrinya. Sang istri yang masih bertanya-tanya di dalam hati
akhirnya berkata,
“Aku tidak butuh koran.
Aku butuh uangmu, dan bayarlah sekolah anakmu, jangan sampai lupa lagi.”
Taryo tahu maksud
istrinya adalah uang upah koran tadi.
“Hebat sekali istriku
tahu bahwa aku menjual koran.” Gumamnya.
Taryo juga tahu,
istrinya pintar, bilang bahwa ia lupa membayar uang sekolah, agar anaknya di
depan yang mungkin bisa mendengar obrolan mereka semakin yakin bahwa bapaknya
bukan tidak mampu, tetapi hanya lupa. Taryono tersipu, lagi.
Berjalan ke arah
istrinya, merogoh kantong celana, memeluk sang istri dari belakang. Taryo
berhasil menghentikan pisau dapur istrinya. Mengubah pandangan sang istri dari
potongan bawang ke lembaran uang Taryo.
“Ini upahku menjual
koran hari ini.”
“Apa? Kamu jualan koran
lagi?” Istrinya separuh bingung separuh cemas.
Taryo memang pernah
mendengar bahwa istrinya bilang jangan pernah datang ke Gang Jambu lagi,
apalagi menemui Pak Rusli, “Dia itu cuman memanfaatkan kamu.” Begitu ucap
istrinya dahulu sekali.
“Tidak, tidak. Aku
tadinya ingin meminta koran baru untukmu. Tetapi habis terjual olehku. Ternyata
aku masih lihai menjual koran” Taryono bercerita.
Istrinya hanya
mengembuskan napas panjang, berbalik ke arah Taryo lalu mengambil uang di
genggamannya.
“Ini uang terakhir dari
Pak Rusli, jangan lagi!” Taryono mengangguk, lalu mengambil potongan koran
bekas bungkus bawang.
“Nah, ini berita baru,
dari mana tukang bawang mendapatkan koran hari ini?” Istrinya hanya tertawa,
melihat Taryo antusias membacakan berita untuknya.
Comments
Post a Comment